Elegi Omicron: Ub Rencanakan Hybrid Lagi, Akankah Mahasiswa Ditelantarkan Kembali
Tanggal 11 Februari lalu, Rektor Universitas Brawijaya (UB) mengeluarkan Surat Perintah nomer 2196/UN10/TU/2022 yang memperlihatkan bahwa perkuliahan semester genap lagi dijalankan secara daring. Hal ini gara-gara penyebaran varian Omicron yang menyebabkan persoalan Covid-19 lagi meningkat di Kota Malang dan sekitarnya. Surat Perintah tersebut dikeluarkan sehabis satu pekan penyelenggaraan perkuliahan hybrid berjalan di UB, supaya mahasiswa yang baru saja merasakan bangku kuliah wajib lagi menatap layar virtual layaknya yang lalu-lalu.
Pembatalan perkuliahan hybrid yang dijalankan secara tiba-tiba, di satu segi sebetulnya terlihat bijaksana gara-gara perhitungkan penyebaran varian Omicron yang kian mengganas di Malang. Namun, jika kita tilik lebih dalam lagi, sebetulnya kebijakan ini ikut menghasilkan sebagian bet 10 ribu persoalan baru akibat minimnya antisipasi dan manajemen risiko berasal dari pihak rektorat UB dalam pengambilan keputusan. Masalah-masalah baru tersebut layaknya sebuah elegi yang kini sedang dinyanyikan oleh sebagian mahasiswa UB.
Penelantaran mahasiswa, kemungkinan itu adalah kata yang pas untuk melukiskan dampak berasal dari kebijakan yang terkesan mendadak tersebut. Bayangkan saja, mahasiswa yang berdomisili di luar kota berbondong-bondong berkunjung ke Malang hanya gara-gara Surat Edaran Rektor yang memperlihatkan bahwa perkuliahan semester genap dijalankan secara hybrid. Alhasil, ekspektasi mereka tiba-tiba dipatahkan oleh kedangkalan UB dalam lakukan upaya-upaya antisipatif, supaya terkesan layaknya menambahkan harapan palsu semata. Tentunya biaya yang dikeluarkan para mahasiswa tidak sedikit, jadi berasal dari transportasi hingga tempat tinggal, baik itu kost maupun kontrakan yang kemungkinan sudah dibayar selama satu semester bahkan setahun. Biasanya harga sewa kost di kira-kira UB ini berkisar Rp. 300.000 hingga bersama Rp. 1.000.000/ bulan.
Kini para mahasiswa justru terjerat pada suatu dilema antara memilih senantiasa berada di Malang – mengingat sewa tempat tinggal yang sudah dibayar – atau pulang ke tempat tinggal gara-gara perkuliahan lagi dilangsungkan secara daring serta supaya tidak membebani biaya untuk kebutuhan sehari-hari. Apalagi jika kita lihat nasib mahasiswa baru yang kemungkinan untuk pertama kalinya merantau dan masih wajib banyak pas untuk beradaptasi, tentunya tidak mudah bagi mereka menghadapi kondisi pas ini yang senantiasa dibayangi bersama ancaman terjangkit Covid-19. Lantas bagaimana tindakan UB?
Keputusan untuk mengembalikan perkuliahan secara daring secara tiba-tiba termasuk tidak serta-merta sanggup menghindari mahasiswa untuk tidak terjangkit varian Omicron. Seperti yang sudah dijelaskan pada mulanya bahwa banyak mahasiswa UB yang sudah terjerat berada di Malang, supaya secara langsung ikut menaikkan tingkat mobilitas penduduk di Kota Malang sendiri. Mobilitas yang meningkat ini berbanding lurus bersama tingkat penyebaran varian Omicron. Contohnya slot habanero saja layaknya persoalan tiga mahasiswa penghuni Rusunawa UB yang terjangkit Covid-19 (kavling10.com). Belum lagi bersama mahasiswa lain yang ngekos atau ngontrak, tidak ada jaminan jika mereka sanggup terhindar berasal dari penyebaran varian omicron. Juga program Google Form Tacker yang dijalankan oleh Satgas Covid-19 UB kurang terdengar oleh mahasiswa supaya ikut menyumbang ketidaktahuan akan service testing dan karantina. Hal ini tentu termasuk menyebabkan banyak mahasiswa terjangkit maupun terkena gejala varian Omicron terpaksa lakukan karantina tanpa ada pengawasan dan service berasal dari UB sendiri. Lantas bagaimana tindakan UB?
Lantas bagaimana tindakan UB? Kalimat itu wajib tetap kita ucapkan untuk menuntut pertanggungjawaban atas segala persoalan yang merupakan buntut berasal dari kebijakan yang minim antisipasi dan tidak mempunyai manajemen risiko yang baik. Tidak kalah penting, kini Surat Edaran Rektor nomer 2802/UN.10/TU/2022 sudah formal dikeluarkan pada tanggal 1 Maret lalu. Dalam isinya, Rektor UB memperlihatkan bahwa perkuliahan akan dilangsungkan secara hybrid lagi tepatnya sehabis Ujian Tengah Semester (UTS). Tentu kecurigaan akan kebijakan ini tidak sanggup dihindarkan, mengingat pada mulanya UB sanggup secara mendadak membatalkan kebijakan yang sudah dibuat, dan lagi-lagi mahasiswalah yang menjadi korban atas suatu kebijakan tersebut. Benarkah kebijakan itu sudah dipikirkan matang-matang? Atau hanya semata-mata kebijakan tanpa usaha antisipasi dan manajemen resiko? Mari kita saksikam bersama, akankah “Elegi Omicron” ini akan senantiasa menjadi nyanyian slot bet 100 yang berlarut-larut di kalangan mahasiswa UB?